Mri kita mulai menelaah satu-persatu beberapa cara/ metode mengajarkan membaca latin pada anak, agar dapat menetukan metode yang tepat bagi anak-anak.
1. Mengeja
Mengeja adalah suatu cara lama yang sering dipakai orang tua atau pengajar untuk mengajar membaca. Caranya dengan memperkenalkan abjad satu persatu terlebih dahulu dan menghafalkan bunyinya. Langkah selanjutnya adalah menghafalkan bunyi rangkaian abjad/huruf menjadi sebuah suku kata. Mula-mula rangkaian dua huruf, tiga huruf, empat huruf hingga aneriak mampu membaca secara keseluruhan.
Baca: Doa dan Adab Harian - Materi Hafalan Santri Part 1
Kelemahan dari metode ini adalah anak-anak balita sulit merangkaikan bunyi huruf yang satu dengan yang lain. Mengapa b ditambah a jadi ba (dan bukan be-a)? Kelemahan berikutnya adalah setelah anak menguasai rangkaian suku kata, anak akan mengalami kesulitan kembali untuk menghilangkan proses pengejaan sehingga mampu membaca dengan normal. Misalkan pada tulisan : baju(dibaca be a ba je u), anak-anak akan sulit menghilangkan ejaan "be a dan je u)" untuk bisa membaca baju. Cara mengeja ini sudah tidak lagi digunakan sebagai metode belajar membaca di sekolah-sekolah dasar saat ini karena caranya cenderung kurang praktis.
2. Membaca dengan gambar
Gambar memang merupakan sesuatu yang menarik. Apalagi gambar yang berwarna, anak-anak tentu sangat menyukainya. Namun, mengajar membaca dengan bantua gambar benyak kelemahannya.
Kelemahan yang pertama adalah sulit menyiapkan alat peraga gambar dengan tulisan yang stabil/standar.
Kelemahan yang kedua, anak-anak umumnya cenderung lebih memperhatikan gambar daripada tulisannya. Ilustrasi dibawah ini barangkali dapat lebih menjelaskan.
Kita sodorkan pada anak sebuah gambar surat kabar, di bawah gambar tersebut tertulis"surat kabar" yang cukup besar. Hari ini kita ajarkan kepada anak dengan menunjukkan hurufnya "ini dibaca surat kabar" . Anak-anak dengan lacar menirukan "surat kabar". Esok harinya, ketika kita ingin mengulang kembali menunjukkan gambar tersebut dan kita tanyakan "ini gambar apa?", maka tidak mustahil kalau yang kita dapati adalah jawaban "koran" dan bukan "surat kabar" seperti yang kita harapkan. Hal ini membuktikan bahwa anak cenderung mambaca gambar dari pada membaca abjadnya.
Jadi, bila ada sebuah gambar yang ada tulisannya, lalu gambar tersebut ditutup anak akan kesulitan membaca tulisan tanpa gambar.
Namun, meskipun banyak kelemahannya, cara ini bukan tak ada gunanya. Cara ini bermanfaat memberikan pegalaman kepada anak bahwa sebuah tulisan itu ada maknanya, dibalik deretan huruf ada bentuk lain dari huruf-huruf tersebut yaitu arti dari sebuah kata.
Baca: Doa dan Adab Harian - Materi Hafalan Santri Part 2
3. Membaca "keseluruhan" baru "bagian"
Cara ini dipakai dengan mengacu pada teori gestalt. yaitu teori yang mengemukakan bahwa biasanya seseorang cenderung memandang segala sesuatu secara keseluruhan terlebih dahulu, baru memperhatikan bagian-bagian serta detailnya (surakarta, 1987). Cara ini biasa diterapkan pada anak SD dan terbukti efektif. Caranya dengan memperkenalkan kalimat lengkap terlebih dahulu, baru kemudian dipilah-pilah bagiannya menjadi sebuah kata, dari kata ini dipilah lagi menjadi beberapa suku kata, dari suku kata dipilah menjadi beberapa huruf.
Misalnya : ini nana
ini nana
i ni na na
i-n-i-n-a-n-a
Cara efektif untuk usia SD ini, dalam percobaan diterapkan pada usia balita ternyata tidak memberikan hasil yang sama. Anak-anak usia belita menjadi mudah putus asa karena terasa sulit dan bahkan melakukan"blocking" (diam mogok baca).
4. Metode kartu kata
Kartu-kartu kata dibuat dari kertas putih yang ditempeli huruf-huruf berukuran raksasa sebesar 10x10 cm perhuruf dengan kertas emas berwarna merah sehingga membentuk kata yang "dekat" dengan anak. Kartu ini berulangkali ditunjukkan pada anak disertai bunyi bacaannya. Bila anak telah dapat membaca 1 set kartu kata, maka dilanjutkan dengan 1 set yang lain dengan ukuran agak kecil, demikian seterusnya hingga anak dapat membaca huruf yang normal(Doman 1997)
Kelemahan cara ini adalah perlu banyak waktu dan tidak efisien dari aspek dana dan waktu serta ketelatenan dalam pembuatan alat peraga maupun materi pelajaran. Setiap hari kita perlu beberapa kali menunjukkan alat peraga, membacanya dan ditirukan anak. Demikian sedikit demi sedikit hingga ratusan alat peraga harus dibuat, sungguh membutuhkan tingkat kesabaran yang luar biasa.
Pada tahap awal dengan mudah anak akan menirukan sebuah kata, misalnya "qonita" bila ditujukan kartu kata "qonita" dan dengan mudah anak menirukan kata "ibu" bila ditujukkan kata "ibu". Namun, meskipun dapat "membaca" qonita dan ibu, adalah sangat sulit bila anak harus membaca kata "buta" tanpa diajar, yang sebetulnya merupakan bagian dari kata "ibu" dan "qonita". Hal ini menunjukkan bahwa anak cenderung "menghafal kata" daripada "membaca kata"
5. Metode membaca suku kata
Metode ini memiliki tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Kita nyaris tidak menemukan kesulitan apapun bagi anak dalam menggunakannya,selain kesulitan menggabungkan konsonan dengan vokal yang berbeda-beda secara mendadak (ba-bi-bu-be-bo)
Metode membaca suku kata ini akan membahas satu persatu suku kata yang perlu di ajarkan. Mulai dari satu kata bervokal a bervokal i dan u dan e, o. Dengan sengaja penyusun tidak langsung menuliskan ba-bi-bu-be-bo, karena mengantisipasi bahwa tidak semua anak memiliki kecerdasan lebih. Bila kita langsung mengajarkan ba-bi-bu-be-bo sudah dapat dipastikan akan banyak terjadi kegagalan. Bagi anak yang dikarunai kecerdasan lebih pun matode seperti ini tidak merugikan untuk di terapkan.
Selain memasukkan materi melalui kalimat-kalimat bernuansa islam, materi panduan belajar anak islam suka membaca mampu memberikan nuansa islam yang baik untuk dipelajari. semoga artikel sederhana ini memberikan sedikit pengetahuan buat para pembaca untuk memberikan metode panduan belajar untuk anak-anak yang masih belia.
1. Mengeja
Mengeja adalah suatu cara lama yang sering dipakai orang tua atau pengajar untuk mengajar membaca. Caranya dengan memperkenalkan abjad satu persatu terlebih dahulu dan menghafalkan bunyinya. Langkah selanjutnya adalah menghafalkan bunyi rangkaian abjad/huruf menjadi sebuah suku kata. Mula-mula rangkaian dua huruf, tiga huruf, empat huruf hingga aneriak mampu membaca secara keseluruhan.
Baca: Doa dan Adab Harian - Materi Hafalan Santri Part 1
Kelemahan dari metode ini adalah anak-anak balita sulit merangkaikan bunyi huruf yang satu dengan yang lain. Mengapa b ditambah a jadi ba (dan bukan be-a)? Kelemahan berikutnya adalah setelah anak menguasai rangkaian suku kata, anak akan mengalami kesulitan kembali untuk menghilangkan proses pengejaan sehingga mampu membaca dengan normal. Misalkan pada tulisan : baju(dibaca be a ba je u), anak-anak akan sulit menghilangkan ejaan "be a dan je u)" untuk bisa membaca baju. Cara mengeja ini sudah tidak lagi digunakan sebagai metode belajar membaca di sekolah-sekolah dasar saat ini karena caranya cenderung kurang praktis.
2. Membaca dengan gambar
Gambar memang merupakan sesuatu yang menarik. Apalagi gambar yang berwarna, anak-anak tentu sangat menyukainya. Namun, mengajar membaca dengan bantua gambar benyak kelemahannya.
Kelemahan yang pertama adalah sulit menyiapkan alat peraga gambar dengan tulisan yang stabil/standar.
Kelemahan yang kedua, anak-anak umumnya cenderung lebih memperhatikan gambar daripada tulisannya. Ilustrasi dibawah ini barangkali dapat lebih menjelaskan.
Kita sodorkan pada anak sebuah gambar surat kabar, di bawah gambar tersebut tertulis"surat kabar" yang cukup besar. Hari ini kita ajarkan kepada anak dengan menunjukkan hurufnya "ini dibaca surat kabar" . Anak-anak dengan lacar menirukan "surat kabar". Esok harinya, ketika kita ingin mengulang kembali menunjukkan gambar tersebut dan kita tanyakan "ini gambar apa?", maka tidak mustahil kalau yang kita dapati adalah jawaban "koran" dan bukan "surat kabar" seperti yang kita harapkan. Hal ini membuktikan bahwa anak cenderung mambaca gambar dari pada membaca abjadnya.
Jadi, bila ada sebuah gambar yang ada tulisannya, lalu gambar tersebut ditutup anak akan kesulitan membaca tulisan tanpa gambar.
Namun, meskipun banyak kelemahannya, cara ini bukan tak ada gunanya. Cara ini bermanfaat memberikan pegalaman kepada anak bahwa sebuah tulisan itu ada maknanya, dibalik deretan huruf ada bentuk lain dari huruf-huruf tersebut yaitu arti dari sebuah kata.
Baca: Doa dan Adab Harian - Materi Hafalan Santri Part 2
3. Membaca "keseluruhan" baru "bagian"
Cara ini dipakai dengan mengacu pada teori gestalt. yaitu teori yang mengemukakan bahwa biasanya seseorang cenderung memandang segala sesuatu secara keseluruhan terlebih dahulu, baru memperhatikan bagian-bagian serta detailnya (surakarta, 1987). Cara ini biasa diterapkan pada anak SD dan terbukti efektif. Caranya dengan memperkenalkan kalimat lengkap terlebih dahulu, baru kemudian dipilah-pilah bagiannya menjadi sebuah kata, dari kata ini dipilah lagi menjadi beberapa suku kata, dari suku kata dipilah menjadi beberapa huruf.
Misalnya : ini nana
ini nana
i ni na na
i-n-i-n-a-n-a
Cara efektif untuk usia SD ini, dalam percobaan diterapkan pada usia balita ternyata tidak memberikan hasil yang sama. Anak-anak usia belita menjadi mudah putus asa karena terasa sulit dan bahkan melakukan"blocking" (diam mogok baca).
4. Metode kartu kata
Kartu-kartu kata dibuat dari kertas putih yang ditempeli huruf-huruf berukuran raksasa sebesar 10x10 cm perhuruf dengan kertas emas berwarna merah sehingga membentuk kata yang "dekat" dengan anak. Kartu ini berulangkali ditunjukkan pada anak disertai bunyi bacaannya. Bila anak telah dapat membaca 1 set kartu kata, maka dilanjutkan dengan 1 set yang lain dengan ukuran agak kecil, demikian seterusnya hingga anak dapat membaca huruf yang normal(Doman 1997)
Kelemahan cara ini adalah perlu banyak waktu dan tidak efisien dari aspek dana dan waktu serta ketelatenan dalam pembuatan alat peraga maupun materi pelajaran. Setiap hari kita perlu beberapa kali menunjukkan alat peraga, membacanya dan ditirukan anak. Demikian sedikit demi sedikit hingga ratusan alat peraga harus dibuat, sungguh membutuhkan tingkat kesabaran yang luar biasa.
Pada tahap awal dengan mudah anak akan menirukan sebuah kata, misalnya "qonita" bila ditujukan kartu kata "qonita" dan dengan mudah anak menirukan kata "ibu" bila ditujukkan kata "ibu". Namun, meskipun dapat "membaca" qonita dan ibu, adalah sangat sulit bila anak harus membaca kata "buta" tanpa diajar, yang sebetulnya merupakan bagian dari kata "ibu" dan "qonita". Hal ini menunjukkan bahwa anak cenderung "menghafal kata" daripada "membaca kata"
5. Metode membaca suku kata
Metode ini memiliki tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Kita nyaris tidak menemukan kesulitan apapun bagi anak dalam menggunakannya,selain kesulitan menggabungkan konsonan dengan vokal yang berbeda-beda secara mendadak (ba-bi-bu-be-bo)
Metode membaca suku kata ini akan membahas satu persatu suku kata yang perlu di ajarkan. Mulai dari satu kata bervokal a bervokal i dan u dan e, o. Dengan sengaja penyusun tidak langsung menuliskan ba-bi-bu-be-bo, karena mengantisipasi bahwa tidak semua anak memiliki kecerdasan lebih. Bila kita langsung mengajarkan ba-bi-bu-be-bo sudah dapat dipastikan akan banyak terjadi kegagalan. Bagi anak yang dikarunai kecerdasan lebih pun matode seperti ini tidak merugikan untuk di terapkan.
Selain memasukkan materi melalui kalimat-kalimat bernuansa islam, materi panduan belajar anak islam suka membaca mampu memberikan nuansa islam yang baik untuk dipelajari. semoga artikel sederhana ini memberikan sedikit pengetahuan buat para pembaca untuk memberikan metode panduan belajar untuk anak-anak yang masih belia.